pengantar pendidikan 1

Posted by Setia_hanazawa^^ | Posted in | Posted on 23.15

0

Pendahuluan

Banyak upaya-upaya peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia di lingkungan instansi pemerintah melalui berbagai pelatihan. Upaya tersebut pada umumnya dilakukan oleh Badan atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) instansi yang bersangkutan. Namun demikian, tidak sedikit pula pengembangan Sumber Daya Manusia tersebut dilakukan melalui kegiatan pelatihan di dalam kegiatan proyek. Pelatihan-pelatihan tersebut pada umumnya diikuti oleh staf atau karyawan instansi yang bersangkutan. Pada umumnya mereka adalah "orang dewasa" yang telah mempunyai berbagai pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dan mempunyai latar belakang yang beragam.
Tentu saja untuk menghadapi peserta pelatihan yang pada umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan tradisional. Pendidikan ala sekolah ini sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Seringkali, dalam praktek banyak "pendekatan pedagogis" diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah, yang seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal dengan "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).


Pengertian

Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan. Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.

Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching).


Asumsi-Asumsi Pokok

Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
  • Konsep Diri : Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara. Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.

  • Peranan Pengalaman : Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman) Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.

  • Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.

  • Orientasi Belajar : Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal in menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.


Beberapa Implikasi Untuk Praktek


Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut :
  • Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
  • Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
  • Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
  • Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
  • Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:

  • Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
  • Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif
  • Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik
  • Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
  • Merencanakan pola pengalaman belajar
  • Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
  • Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.
Oleh karena itu dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.

Dengan begitu maka tugas dan peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas, dari instansi, dari dinas, yang mereka buat di atas meja terlepas dari kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.

Langkah-Langkah Pokok Dalam Pelatihan Partisipatif (Andragogi)
Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut:

Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu :

  • Pengaturan Lingkungan Fisik : Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
    • Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa
    • Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa
    • Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial
  • Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologis : Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung.
    • Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung
    • Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai
    • Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
    • Mengembangkan semangat kebersamaan
    • Menghindari adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah
    • Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama

  • Diagnosis Kebutuhan Belajar : Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
    • Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu
    • Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
    • Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan
    • Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu


Proses Perencanaan

Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
  • Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain
  • Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut
  • Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan.
  • Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.


Memformulasikan Tujuan

Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.


Mengembangkan Model Umum

Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.


Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran

Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan
  • Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis
  • Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta
  • Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.


Peranan Evaluasi

Pendekatan evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
  • Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan
  • Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation)
  • Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan
  • Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
  • Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program
  • Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.

Hakikat pendidikan

Posted by Setia_hanazawa^^ | Posted in | Posted on 22.44

0

Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?

Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.

(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.

(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.

(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.

WAJAH PENDIDIKAN SAAT INI

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat signifikan dalam sebuah kehidupan berbangsa. Pendidikan merupakan media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia. Namun, pendidikan di tanah air sampai saat ini masih terus menimbun berbagai masalah. Meskipun berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari permasalahan klasik baik menyangkut kualitas, daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan, budi pekerti siswa, minimnya anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah hingga minimnya minat belajar siswa.
Kualitas pendidikan kita pun masih terpuruk. Berdasarkan data hasil penelitian di Singapura (September 2001) menempatkan sistem pendidikan nasional pada urutan 12 dari 12 negara Asia bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh dibandingkan dengan negara tetangga Singapura (24), Malaysia (61),Thailand (76) dan Philipina (77).
Kondisi lebih memprihatinkan bila melihat laporan dari International Institute of Management Development pada tahun 2000 yang menyebutkan, dari 48 negara yang diukur, daya saing SDM Indonesia menempati urutan ke-47, sementara Thailand 34, Filipina 32, Malaysia 27, Singapura 2. Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya peringkat HDI Indonesia adalah angka partisipasi pendidikan. Data dari Balitbang Depdiknas menyebutkan angka partisipasi murni (APM) pada jenjang SD/MI 94,44, SLTP/MTs 54,81, dan SLTA 31,46. Angka yang diperoleh Indonesia itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Angka partisipasi kombinasi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi Indonesia sekitar (64%), Malaysia 65%, Singapura 73%, Filipina 82%, dan Korea Selatan 90%.
Walaupun angka partisipasi murni SD di Indonesia dalam kurun 20 tahun meningkat, kualitasnya sulit dibanggakan. Kini puluhan ribu anak SD harus belajar di sekolah bobrok. Ironinya, sampai saat ini belum terjawab, bagaimana Pemerintah menangani persoalan yang sangat kasatmata itu; sementara masih banyak anak usia SD yang putus sekolah atau malah belum terjangkau sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun secara kuantitatif pun sulit bisa dituntaskan pada tahun 2008.
Angka partisipasi murni SLTP baru sekitar 60% dan angka putus sekolah sangat mengkhawatirkan. Sekitar 10% angka buta huruf berasal dari penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas. Dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat SD yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa siswa SD Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat SLTP, studi untuk kemampuan matematika siswa Indonesia pada urutan ke-34 dari 38 negara. Untuk kemampuan IPA pada urutan ke-32 dari 38 negara peserta. Kurang seriusnya pembangunan pendidikan nasional itu juga tercermin dari kurangnya penghargaan terhadap guru.
Dunia pendidikan tinggi kita juga terpuruk. Berdasarkan peringkat universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek 2000, tidak satu pun perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik. UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas multidisiplin. UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, UNAIR diperingkat 75; sedangkan ITB diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan dengan Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan.
Melihat realitas pendidikan Indonesia saat ini sama dengan menangis, semuanya hanya melahirkan kisah sedih sampai hari ini. Tapi kalau kita sedih namum tidak menggugah kita melakukan sesuatu, maka tangisan generasi berikutnya adalah tangisan “berdarah” dan kita seharusnya disebut sebagai angkatan biadab yang tidak melakukan perbaikan apapun di negeri ini. Momentum hari pendidikan nasional tahun ini seharusnya menjadi tonggak dan refleksi bersama untuk kemajuan masa depan pendidikan, bukan justru diskursus politik, perebutan kekuasaan, dan perdebatan yang cenderung menyapu atmosfer kesadaran kita, melupakan urgensi pendidikan untuk masa depan bangsa atau menjadikan pendidikan sekedar wacana atau jualan jelang pilkada atau pemilu.

“Pabaliut berarti seperti benang kusut, perlu upaya sungguh-sungguh dan kesabaran untuk bisa mengurai benang kusut.”

Sungguh para guru harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kualitas pendidikan saat ini memang sudah berada dalam kondisi yang memprihatinkan, salah satu faktor signifikan dari rendahnya kualitas pendidikan adalah masih rendahnya kualitas profesional sebagian besar guru-guru. Jadi saat ini bukan saatnya guru terlalu banyak menuntut tanpa kita berusaha untuk memperbaiki kualitas profesional kita.

Tetapi tentunya bukan hanya guru yang harus berusaha memperbaiki diri, semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan juga harus terus berusaha untuk memperbaiki diri. Apalah artinya guru yang profesional tetapi berada dalam sistem yang pabaliut.

Langkah-langkah apa saja untuk memperbaiki kualitas pendidikan di masa depan :

  1. Merombak kurikulum LPTK, LPTK harus seperti STAN atau AKABRI. Mahasiswa di jaring melalui suatu selekksi yang komprehensif kemudian setiap mahasiswa mendapat tunjangan ikatan dinas dan di asramakan, sebab selain penguasaan terhadap materi bidang studi , seorang guru adalah pendidik yang harus menguasai psikologi maupun pengetahuan dan pengalaman untuk pengembangan karakter.Calon guru harus juga dibekali dengan kepribadian yang paripurna. Jangan seperti sekarang ini banyak calon guru yang lulus dari kelas karyawan kelas jauh yang hanya belajar setiap hari sabtu selama 6 jam kemudian ujiannya gotong royong dimana kuliah hanya merupakan kegiatan formalitas untuk mengejar ijazah bagi mahasiswa dan untuk mengejar materi bagi para pengelolanya.
  2. Law enforcement, penegakkan hukum baik yang berupa undang-undang maupun peraturan di bidang pendidikan. Sekarang ini undang-undang bagus-bagus demikian juga peraturan tetapi semua itu hanya tersimpan di lemari pembuat kebijakan tanpa pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
  3. Jauhkan seleksi penerimaan guru dari praktek-praktek KKN. Seleksi penerimaan guru harus dilaksanakan dengan profesional menggunakan jasa konsultan atau perusahaan atau LPTK/Universitas dengan materi seleksi yang mengarah pada kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, jangan seperti sekarang ini seleksi guru selain dipenuhi dengan praktek KKN juga materi seleksi tidak mengarah kepada menilai kompetensi yang harus dimiliki seorang guru.
  4. Buat peraturan yang membatasi jumlah siswa di kelas , kemudian lengakapi fasilitas standar yang harus dimiliki sekolah
  5. Birokrasi yang mengelola pendidikan harus benar-benar memahami fungsi dan tugas mereka. Jangan seperti sekarang ini ada Kepala Dinas Pendidikan yang karirnya bukan berasal dari dunia pendidikan. Buatlah peraturan misalnya ;

a. kepala dinas pendidikan kabupaten harus berpengalaman sekurang-kurangnya10 tahun menjadi guru dan 10 tahun menjadi kepala sekolah serta menunjukkan prestasi yang luar biasa selama menjadi guru dan kepala sekolah.

b. Kepala dinas pendidikan kecamatan dan seterusnya juga harus diberi syarat seperti di atas sehingga yangmenjadi pejabat birokrasi pendidikan benar-benar mereka yang berpengalaman dan mengerti pendidikan.

Demikialah beberapa langkah yang menurut hemat saya dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Sumber: www.google.com